Halaman

Jumat, 25 Mei 2012

Tutup Ngisor: The Village

 



Berawal dari obrolan dengan seorang teman, saya pun berangkat menuju Tutup Ngisor, sebuah desa yang konon kabarnya merupakan desa pelopor kesenian masyarakat Gunung Merapi. 

Kehadiran saya disambut oleh Sitras Anjilin, ketua padepokan Tjipta Budaya, dan anak-anaknya. setelah mengutarakan maksud kedatangan saya, untuk mendokumentasikan kegiatan berkesenian di Tutup Ngisor, mereka pun mempersilahkan saya untuk menginap di rumah mereka. 

Tak lama setelah beristirahat, saya melihat sekelompok anak-anak yang usianya mungkin tidak lebih dari 8 tahun bermain-main di panggung padepokan, mereka menari dan bermain gamelan dan gendang dengan fasih. Saya sempat mengira bahwa mereka sedang berlatih untuk pertunjukan yang akan datang, tetapi setelah melihat seorang wanita mengusir mereka dari panggung, saya pun sadar bahwa mereka ternyata hanya bermain-main. kata "luar biasa" pun terlontar secara tidak sengaja.

kehadiran saya ternyata bertepatan dengan persiapan acara tahunan mereka. Sebagian warga desa tengah bergotong royong agar acara tersebut bisa berjalan dengan lancar.

Padepokan yang memiliki panggung yang terbilang sangat layak itupun menjadi pusat kegiatan persiapan mereka. Para penduduk desa yang bertani sejak pagi hari, mulai berdatangan saat sore hari. Selain mengadakan rapat persiapan mereka pun berlatih lakon atau tarian yang mereka akan mainkan pada acara tahunan tersebut. Lelah berladang seharian pun tidak menurunkan semangat mereka berkesenian. Tak ada bayaran. makanan dan minuman (walaupun sederhana) disediakan bersama. 




Kerelaan dan ketulusan mereka dalam bekerja dan berkesenian sungguh luar biasa. Bagi penduduk Tutup Ngisor, seni telah mendarah daging. Hal ini berbeda dengan warga sekitar Merapi yang konon melihat seni sebagai sarana berdamai dengan para penunggu gunung. Seni bagi mereka sama pentingnya seperti  bekerja, makan bahkan bernapas. Kaum muda tak merasa terpaksa untuk meneruskan tradisi. Ketertarikan timbul dengan alami dari mengamati orangtua dan kakak-kakak mereka. Ketukan gendang, dentingan gamelan, tarian-tarian dan lakon-lakon wayang sudah jadi bagian hidup sejak mereka kecil. 



Bersambung...

Rabu, 02 Mei 2012

Ah, The Irony


money can't buy you happiness, but all roads that leads to it requires money #ahtheirony

The Place I want to be vs The Place I need to be



if you're stuck on an office chair, you're bound to miss the things you used to do. Rewinding past memories and you keep on asking to yourself "what if?".

But life goes on, and you started to realize that there's a reason for everything.

"For now, this 3x4 room is where i need to be, but someday I'll be where i want to be."


Rabu, 21 Desember 2011

Bitter Sweet















        i had a chance to visit the tasikmadu sugar factory during my last trip to Solo. unfortunately, because of my poor timing, there was no significant activities during my visit. the factory workers are busy doing maintenance on  the machines so it will be ready to use on april. 
        sugar factories such as Tasikmadu has to deal with the fear of being shutdown every year, mostly due to the fact that they are unable to compete with imported sugar. 
        how long will this century old sugar factory survive? we shall see..


Minggu, 27 November 2011

Teater Sastra Baju Baru Sang Raja -Backstage edition-


For me, what goes on behind the curtain is far more intriguing. The anxiety, excitement, fatigue and passion can be seen easily on the face of the actors and crews involved in the performance, The same can be seen on the face of these guys, Teater Sastra.  

For your information,  it was through teater sastra that i found my passion in photography, not to mention that i had a good few years of my life with them. My very first camera was bought to document their performance, Sayang, aku HIV, Kamu ngapain aja? in 2007 if i'm not mistaken. So its only natural i kept coming back to the place where i found my photography.

here's a few images from backstage